Senin, 24 Maret 2014

KEKUASAAN DAN KORUPSI


68 Tahun sudah Negara ini Merdeka dan kemerdekaan membawa rakyat keluar dari keterbelengguan dan cengkaraman kolonial belanda yang menduduki negeri ini kurang lebih 350 tahun. Pada saat indonesia mengkumendangkan kemerdekaan dibawah kolom langit bumi pertiwi pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Bung karno dan Hatta, seketika itu juga indonesia menjadi sebuah negara yang merdeka dari perbudakan bangsa asing.

Hal inilah, yang mejadi titik anjak kita memulai suatu kehidupan baru dengan tuntutan janji kebangsaan untuk memanusiakan manusia indonesia yang pada waktu itu menjadi budak di negeri sendiri. Janji kebangsaan yang dituangkan dalam sebuah naskah mukkadimah dan aturan dasar negara adalah, bukan sekedar alat retorika politik kaum ellite.

Dari periodesasi kepemimpinan yang tercatat selama 68 tahun tidak ada perubahan yang signifikan, wajah pemerintahan yang terus berubah dari konfigurasi politik di negara ini hanya menampilkan wajah baru pemimpin yang lupa dengan janji kebangsaan, malah kekuasaan disalahgunakan untuk memperkaya diri, asset negara diberikan dan dikuasai oleh asing, ekspor tenaga rakyat indonesia menjadi budak di negara luar.

Sungguh ironi negeri ini, kaya dengan sumber daya alam namun tidak mampu dikuasi sendiri, Padahal sumber daya manusia yang begitu mumpuni, dan rakyat yang dipekerjakan di negri luar tidak sedikit berakhir dengan duka. 

Disamping itu, rakyat terus disuguhi dengan isu-isu korupsi yang melibatkan elite politik yang berada dalam lingkaran kekuasaan. Bahkan korupsi di Indonesia telah menggurita dari marouke hingga sabang. Lihat saja berapa banyak elite politik yang ditangkap, berapa banyak kerugian negara akibat korupsi dan berapa banyak masalah korupsi yang belum diselesaikan dan diketahui.


Pada tahun 2012 Lembaga Transparency International (TI) baru saja merilis indeks persepsi korupsi. Indonesia menempati peringkat 118 dari 176 negara. Ini menunjukkan Indonesia masih butuh banyak perbaikan untuk membenahi sektor layanan publik yang dipersepsikan masih terjerat korupsi.


Indeks persepsi korupsi adalah skala dari 0 sampai 100, dengan 0 mengindikasikan level korupsi yang tinggi dan 100 untuk level yang rendah. Indonesia memiliki indeks sebesar 32, setingkat dengan Mesir, Republik Dominika, Ekuador, dan Madagaskar di peringkat 118. Dari 27 negara di regional Asia Pasifik, Indonesia berada di peringkat 18, tepat di bawah Timor-leste yang mendapat nilai indeks 33. Dibanding dengan negara-negara di ASEAN, Indonesia sangat jauh ketinggalan dengan Singapura, Brunei, dan Malaysia yang mendapat peringkat 2, 46, dan 54 dari 176 negara. Ada empat negara ASEAN yang peringkatnya berada di bawah Indonesia, yaitu Vietnam, Kamboja, Laos, dan Myanmar. Di pucuk klasemen, New Zealand tetap menjadi peringkat pertama. Kali ini indeks New Zealand disamai Denmark dan Finlandia yang tahun lalu berada di peringkat dua 

dapat di asumsi kalau Kekuasaanlah yang mengakomodir segala tindak tanduk busuk para pelaku korupsi. Tidak heran korupsi identik dengan orang-orang yang berkuasa di zamannya. Penyalahgunaan wewenang dan benturan kepentingan (conflict of interest) rentan sekali terjadi, apalagi bila kekuasaan mutlak dalam genggaman, korupsi sudah dipastikan menjadi karakteristik sebuah rezim yang memiliki kekuasaan absolut tersebut. (baca; Politik hukum pemberantasan korupsi tiga zaman).

Ada sebuah ungkapan dari Lord Acton; Kekuasan cenderung untuk korupsi, kekuasaan absolut cenderung untuk korupsi absolut. Ungkapan ini relevan dengan realitas yang terjadi, korupsi timbul dan tumbuh pada kekuasaan dan melibatkan para elite Negara yang menduduki jabatan dan kekuasaan negara.

Legislatif, Eksekuti, dan yudikatif, adalah kekuasaan negara yang rentan dengan korupsi, bahkan sudah mengakar. Istilah fee sangat trend di lembaga tersebut sebagai bahasa komunikasi korupsi. Sehingga patut di idiomkan sebagai “kampung maling”. 

“Melawan ketakutan”
Bagi penulis, melawan korupsi adalah melawan ketakutan. Butuh komitmen, konsistensi dan keberanian karena kita akan menghadapi kekuatan besar yang memiliki akses kekuasaan. Dalam tulisan ini kita akan memotret korupsi dari masa ke masa dalam wajah pemerintahan Indonesia.

 Pertama, orde lama. Pada era ini, di bawah kepemimpinan Sukarno, tercatat sudah dua kali dibentuk Badan Pemberantasan Korupsi yang diberi nama PARAN (Panitia Retooling Aparatur Negara) dengan perangkat hukum yang digunakan adalah Undang-undang Keadaan Bahaya, salah satu tugas PARAN saat itu agar para pejabat pemerintah diharuskan mengisi formulir yang disediakan, jika di istilahkan sekarang mungkin daftar kekayaan pejabat negara. Namun Dalam perkembangannya ternyata kewajiban pengisian formulir tersebut mendapat reaksi keras dari para pejabat dengan dalih agar formulir itu tidak diserahkan kepada PARAN akan tetapi langsung kepada presiden. Alhasil  Usaha Paran akhirnya mengalami deadlock karena kebanyakan pejabat berlindung di balik Presiden. 

Tahun 1963 melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun 1963, upaya pemberantasan korupsi kembali digalakkan. Nasution yang saat itu menjabat sebagai Menkohankam ditunjuk kembali sebagai ketua dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo. Tugas mereka lebih berat, yaitu meneruskan kasus-kasus korupsi ke meja pengadilan. Lembaga ini di kemudian hari dikenal dengan istilah Operasi Budhi di mana sasarannya adalah perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktik korupsi dan kolusi. Operasi Budhi ternyata juga mengalami hambatan. Misalnya, untuk menghindari pemeriksaan, Dirut Pertamina mengajukan permohonan kepada Presiden untuk menjalankan tugas ke luar negeri, sementara direksi yang lain menolak diperiksa dengan dalih belum mendapat izin dari atasan. Maka terlihat kalau pada waktu itu pemerintah setengah hati memberantas korupsi.

Kedua, orde baru. Pada era ini, pidato kenegaraan, Pj Soeharto di depan anggota DPR/MPR menjelang hari kemerdekaan RI tangal 16 Agustus 1967, menyalahkan rezim Orde Lama yang tidak mampu memberantas korupsi sehingga segala kebijakan ekonomi dan politik berpusat di Istana. Pidato itu memberi isyarat bahwa Soeharto bertekad untuk membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya. Sebagai wujud dari tekad itu tak lama kemudian dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung.

Pada Tahun 1970, konsistensi TPK kurang terlihat dalam memberantas korupsi seperti pernyataan Soeharto, kelompok mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk rasa memprotes keberadaan TPK. Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina, Departemen Kehutanan banyak disorot masyarakat karena diangap sebagai sarang korupsi dan ''pat gulipat''.

Suara protes demonstran terdengar dalam lubang kuping Soeharto dan akhirnya direspon oleh Soeharto dengan membentuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa seperti Prof Johannes, IJ Kasimo, Mr Wilopo dan A Tjokroaminoto. Tugas mereka yang utama adalah membersihkan antara lain Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, Pertamina, dan lain-lain.

Namun komite ini tidak jauh berbeda dengan sebelumnya, mereka seperti ''macan ompong'' karena hasil temuannya tentang dugaan korupsi di Pertamina tak direspon pemerintah.

Ketiga, Reformasi. Pada era ini, Bung Hatta pernah mengkonstatir bahwa di era pemerintahan Orde Baru (baca: Soeharto), korupsi di Indonesia sudah sampai pada tahap membudaya. 

Ketika runtuhnya kekuasaan soeharto, tampuk kekuasaan bergeser ke tangan Presiden BJ Habibie. Pada rezim ini. Habibie mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga Ombudsman. Namun kekuasaan Habibie tidak bertahan lama karena dianggap sebagai antek orba dan menuntut untuk segera melakukan pemilu.

Abdurrahman Wahid (Gus-dur) adalah Presiden yang lahir pasca rezim Habibie dan pada saat rezim Gus-dur telah membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK).

Badan ini dibentuk dengan Keppres di masa Jaksa Agung Marzuki Darusman dan dipimpin Hakim Agung Andi Andojo. Namun di tengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, akhirnya membubarkan TGPTPK. Sejak saat itu, Indonesia mengalami kemunduran dalam upaya pemberantasan KKN.

Disamping itu Gus Dur lengser dengan alasan inkonstitusional, Mega pun menggantikannya melalui apa yang disebut sebagai kompromi politik. Laksamana Sukardi ditempatkan sebagai MenNeg BUMN yang dalam pola pikirnya hanya bagaimana cara menjual asset negara untuk meraih uang. Di masa pemerintahan Megawati pula kita melihat dengan kasat mata wibawa hukum semakin merosot, di mana yang menonjol adalah otoritas kekuasaan. Lihat saja betapa mudahnya konglomerat bermasalah bisa mengecoh aparat hukum dengan alasan berobat ke luar negeri.

Pemberian SP3 untuk Prajogo Pangestu, Marimutu Sinivasan, Sjamsul Nursalim, The Nien King, lolosnya Samadikun Hartono dari jeratan eksekusi putusan MA, pemberian fasilitas MSAA kepada konglomerat yang utangnya macet, menjadi bukti kuat bahwa elite pemerintah sebenarnya tidak serius dalam upaya memberantas korupsi. (Baca; ICW, perbincangan korupsi dari masa lalu hingga kini),  Sangat terlihat dalam rezim ini, dominasi kekuasaan sangat tinggi di bandingkan hukum sehingga keadilan menurut kaum sofis yunani sebagai apa yang berfaedah oleh kelompok atas.

“SBY dan Pasca SBY”
Pada rezim SBY, telah membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dasar perintah dari pasal 43 ayat 1 UU No. 31 Tahun 1999; “Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-undang ini mulai berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”

Dengan adanya Eksistensi KPK, dapat dibilang sebagai momok yang menakutkan bagi para elite negara, bahkan kekuatiran mereka terhadap KPK membuat mereka berpikir bagaimana caranya untuk melemahkan KPK. Tidak bisa dipungkiri kalau usaha itu berhasil pada kepemimpinan KPK sebelumnya alhasil independensi KPK mulai rapuh ketika KPK terjerembab dalam skema penguasa; sebagian anggota KPK yang menerima suap atau gratifikasi untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan jabatan atau kewajibannya.

Akibatnya, masyarakat merasa pesimis dan tidak lagi percaya dengan lembaga negara, namun ketika KPK di pimpin oleh Abraham Sahmad mampu memulihkan nama baik dan mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada KPK dengan membuktikan komitmennya sebagai aktivis anti korupsi. Hal tersebut Terbukti ketika beberapa skandal mega korupsi yang melibatkan penyelenggara negara. Misalnya, kasus impor daging sapi, kasus korupsi Al-Qur’an, kasus SKK Migas, Kasus Hambalang, Kasus Suap Pilkada Banten, dll.

Namun, keberhasilan KPK tidak akan lengkap jika KPK tidak mampu menjawab Skandal Bank Century dengan kerugian 6,7 trilliun. Kasus Century dapat dibilang kasus terbesar sepanjang sejarah bangsa dan menjadi pekerjaan rumah bagi KPK. Jika dalam massa kepemimpinan SBY atau pasca SBY tidak mampu menjawab skandal Bank Century maka akan menjadi dosa sejarah di bangsa ini.

Senin, 17 Maret 2014

“Negara” Setoran



Negara adalah sebuah kesepakatan bersama untuk hidup dan memiliki tujuan bersama. Rakyat yang menjadi unsur terpenting dalam negara dapat memilih siapa yang dapat memimpin dan mengatur mereka secara baik. apalagi negara yang mengklaim dirinya sebagai negara demokrasi.
Demokrasi sebagai alat (tools) untuk mencapai kesejahteraan (walfare) hanya baru sebatas konsep abstrak yang belum terlihat di indonesia. Berbagai problem yang menghambat segala pembangunan di berbagai sektor adalah fakta yang tak terbantahkan. Karena negara ini masih dihiasi dengan kemiskinan yang ada di seluruh NKRI, rakyat masih di suguhi dengan prilaku elite negara yang cenderung korupsi, hakim dan pengadilan ketidakadilan dan segalah perilaku haram-jaddah elite negara yang dipertontonkan masyarakat.

Berbagai kasus korupsi suap atau gratifikasi yang melibatkan para penyelenggara negara baik di lingkungan eksekutif, legislatif maupun yudikatif sudah menjadi hal yang umum. Bahkan pengadilan yang menjadi tempat para pencari keadilan sudah tidak terlepas dari tindakan suap-menyuap antara pihak yang berperkara sehingga keadilan menjadi barang dagangan. Nah hal inilah yang penulis katakan sebagai “negara setoran”. 

Terlihat kalau elite negara tidak memiliki komitmen moral, lulus menjadi pegawai atau penyelenggara negara dengan proses yang “haram”. Dapat di asumsi kalau negara ini tidak lagi menilai profesionalitas calon pegawai atau pejabat negara. Alhasil semuanya berdampak pada kredibilatas masyarakat terhadap lembaga negara melahirkan nilai minus.

Law Enforcement
Lingkaran korupsi di negara ini bukan lagi pada tahap elite atau akademik, tetapi sudah berdampak secara sistemik sehingga korupsi di katakan sebagai kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime) dan sudah harus diberantas dengan cara yang luar biasa. 

Benang kusut penegakan hukum di negara ini juga sangat meperihatinkan, sebelum terbentuknya suatau lembaga khusus pemberantasan korupsi, kewenangannya berada ditingkat polisi, jaksa yang kerapkali menghentikan kasus-kasus korupsi dengan dalih kurang memiliki bukti. permainan kotor ini tidak terlepas dari tindakan transaksional antara para pihak yang berperkara dengan aparat penegakan hukum yang kehilangan etika dan moralitas.

Lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah sebagai bukti kalau polisi dan jaksa tidak memiliki etikat baik dalam pemberantasan korupsi. eksistensi KPK yang independen sedikit melegahkan masyarakat dari perilaku korup para elite negara yang suka membuat ulah di bangsa ini.