68 Tahun sudah Negara ini Merdeka dan kemerdekaan membawa rakyat keluar dari keterbelengguan dan cengkaraman kolonial belanda yang menduduki negeri ini kurang lebih 350 tahun. Pada saat indonesia mengkumendangkan kemerdekaan dibawah kolom langit bumi pertiwi pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Bung karno dan Hatta, seketika itu juga indonesia menjadi sebuah negara yang merdeka dari perbudakan bangsa asing.
Hal inilah, yang
mejadi titik anjak kita memulai suatu kehidupan baru dengan tuntutan janji
kebangsaan untuk memanusiakan manusia indonesia yang pada waktu itu menjadi
budak di negeri sendiri. Janji kebangsaan yang dituangkan dalam sebuah naskah
mukkadimah dan aturan dasar negara adalah, bukan sekedar alat retorika politik
kaum ellite.
Dari periodesasi
kepemimpinan yang tercatat selama 68 tahun tidak ada perubahan yang signifikan,
wajah pemerintahan yang terus berubah dari konfigurasi politik di negara ini
hanya menampilkan wajah baru pemimpin yang lupa dengan janji kebangsaan, malah
kekuasaan disalahgunakan untuk memperkaya diri, asset negara diberikan dan dikuasai oleh asing, ekspor tenaga
rakyat indonesia menjadi budak di negara luar.
Sungguh ironi
negeri ini, kaya dengan sumber daya alam namun tidak mampu dikuasi sendiri,
Padahal sumber daya manusia yang begitu mumpuni, dan rakyat yang dipekerjakan
di negri luar tidak sedikit berakhir dengan duka.
Disamping itu,
rakyat terus disuguhi dengan isu-isu korupsi yang melibatkan elite politik yang
berada dalam lingkaran kekuasaan.
Bahkan korupsi di Indonesia telah menggurita dari marouke
hingga sabang. Lihat saja berapa banyak elite politik yang ditangkap, berapa
banyak kerugian negara akibat korupsi dan berapa banyak masalah korupsi yang
belum diselesaikan dan diketahui.
Pada tahun 2012 Lembaga Transparency International (TI) baru saja merilis indeks persepsi korupsi. Indonesia menempati peringkat 118 dari 176 negara. Ini menunjukkan Indonesia masih butuh banyak perbaikan untuk membenahi sektor layanan publik yang dipersepsikan masih terjerat korupsi.
Indeks persepsi korupsi adalah skala dari 0 sampai 100, dengan 0 mengindikasikan level korupsi yang tinggi dan 100 untuk level yang rendah. Indonesia memiliki indeks sebesar 32, setingkat dengan Mesir, Republik Dominika, Ekuador, dan Madagaskar di peringkat 118. Dari 27 negara di regional Asia Pasifik, Indonesia berada di peringkat 18, tepat di bawah Timor-leste yang mendapat nilai indeks 33. Dibanding dengan negara-negara di ASEAN, Indonesia sangat jauh ketinggalan dengan Singapura, Brunei, dan Malaysia yang mendapat peringkat 2, 46, dan 54 dari 176 negara. Ada empat negara ASEAN yang peringkatnya berada di bawah Indonesia, yaitu Vietnam, Kamboja, Laos, dan Myanmar. Di pucuk klasemen, New Zealand tetap menjadi peringkat pertama. Kali ini indeks New Zealand disamai Denmark dan Finlandia yang tahun lalu berada di peringkat dua
Pada tahun 2012 Lembaga Transparency International (TI) baru saja merilis indeks persepsi korupsi. Indonesia menempati peringkat 118 dari 176 negara. Ini menunjukkan Indonesia masih butuh banyak perbaikan untuk membenahi sektor layanan publik yang dipersepsikan masih terjerat korupsi.
Indeks persepsi korupsi adalah skala dari 0 sampai 100, dengan 0 mengindikasikan level korupsi yang tinggi dan 100 untuk level yang rendah. Indonesia memiliki indeks sebesar 32, setingkat dengan Mesir, Republik Dominika, Ekuador, dan Madagaskar di peringkat 118. Dari 27 negara di regional Asia Pasifik, Indonesia berada di peringkat 18, tepat di bawah Timor-leste yang mendapat nilai indeks 33. Dibanding dengan negara-negara di ASEAN, Indonesia sangat jauh ketinggalan dengan Singapura, Brunei, dan Malaysia yang mendapat peringkat 2, 46, dan 54 dari 176 negara. Ada empat negara ASEAN yang peringkatnya berada di bawah Indonesia, yaitu Vietnam, Kamboja, Laos, dan Myanmar. Di pucuk klasemen, New Zealand tetap menjadi peringkat pertama. Kali ini indeks New Zealand disamai Denmark dan Finlandia yang tahun lalu berada di peringkat dua
dapat di asumsi kalau Kekuasaanlah
yang mengakomodir segala tindak tanduk busuk para pelaku korupsi. Tidak heran
korupsi identik dengan orang-orang yang berkuasa di zamannya. Penyalahgunaan
wewenang dan benturan kepentingan (conflict
of interest) rentan sekali terjadi, apalagi bila kekuasaan mutlak dalam
genggaman, korupsi sudah dipastikan menjadi karakteristik sebuah rezim yang
memiliki kekuasaan absolut tersebut. (baca; Politik hukum pemberantasan korupsi
tiga zaman).
Ada sebuah
ungkapan dari Lord Acton; Kekuasan
cenderung untuk korupsi, kekuasaan absolut cenderung untuk korupsi absolut.
Ungkapan ini relevan dengan realitas yang terjadi, korupsi timbul dan tumbuh
pada kekuasaan dan melibatkan para elite Negara yang menduduki jabatan dan
kekuasaan negara.
Legislatif,
Eksekuti, dan yudikatif, adalah kekuasaan negara yang rentan dengan korupsi,
bahkan sudah mengakar. Istilah fee
sangat trend di lembaga tersebut
sebagai bahasa komunikasi korupsi. Sehingga patut di idiomkan sebagai “kampung
maling”.
“Melawan ketakutan”
Bagi penulis,
melawan korupsi adalah
melawan ketakutan. Butuh komitmen, konsistensi dan keberanian karena kita akan
menghadapi kekuatan besar yang memiliki akses kekuasaan. Dalam tulisan ini kita
akan memotret korupsi dari masa ke masa dalam wajah pemerintahan Indonesia.
Pertama,
orde lama. Pada era ini, di bawah kepemimpinan Sukarno, tercatat sudah dua kali
dibentuk Badan Pemberantasan Korupsi yang diberi nama PARAN (Panitia Retooling Aparatur Negara)
dengan perangkat hukum yang digunakan adalah Undang-undang Keadaan Bahaya, salah satu tugas PARAN saat itu agar
para pejabat pemerintah diharuskan mengisi formulir yang disediakan, jika di
istilahkan sekarang mungkin daftar kekayaan pejabat negara. Namun Dalam
perkembangannya ternyata kewajiban pengisian formulir tersebut mendapat reaksi
keras dari para pejabat dengan dalih agar formulir itu tidak diserahkan kepada
PARAN akan tetapi langsung kepada presiden. Alhasil Usaha Paran akhirnya mengalami deadlock karena kebanyakan pejabat
berlindung di balik Presiden.
Tahun 1963
melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun 1963, upaya pemberantasan korupsi
kembali digalakkan. Nasution yang saat itu menjabat sebagai Menkohankam ditunjuk
kembali sebagai ketua dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo. Tugas mereka lebih
berat, yaitu meneruskan kasus-kasus korupsi ke meja pengadilan. Lembaga ini di
kemudian hari dikenal dengan istilah Operasi Budhi di mana sasarannya adalah
perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap
rawan praktik korupsi dan kolusi. Operasi Budhi ternyata juga mengalami
hambatan. Misalnya, untuk menghindari pemeriksaan, Dirut Pertamina mengajukan
permohonan kepada Presiden untuk menjalankan tugas ke luar negeri, sementara
direksi yang lain menolak diperiksa dengan dalih belum mendapat izin dari
atasan. Maka terlihat kalau pada waktu itu pemerintah setengah hati memberantas
korupsi.
Kedua, orde baru. Pada era
ini, pidato kenegaraan, Pj Soeharto di depan anggota DPR/MPR menjelang hari
kemerdekaan RI tangal 16 Agustus 1967, menyalahkan rezim Orde Lama yang tidak
mampu memberantas korupsi sehingga segala kebijakan ekonomi dan politik
berpusat di Istana. Pidato itu memberi isyarat bahwa Soeharto bertekad untuk
membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya. Sebagai wujud dari tekad itu tak lama kemudian
dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung.
Pada Tahun 1970,
konsistensi TPK kurang terlihat dalam memberantas korupsi seperti pernyataan Soeharto, kelompok mahasiswa dan pelajar
melakukan unjuk rasa memprotes keberadaan TPK. Perusahaan-perusahaan negara
seperti Bulog, Pertamina, Departemen Kehutanan banyak disorot masyarakat karena
diangap sebagai sarang korupsi dan ''pat gulipat''.
Suara protes
demonstran terdengar dalam lubang kuping Soeharto dan akhirnya direspon oleh
Soeharto dengan membentuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang
dianggap bersih dan berwibawa seperti Prof Johannes, IJ Kasimo, Mr Wilopo dan A
Tjokroaminoto. Tugas mereka yang utama adalah membersihkan antara lain
Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, Pertamina, dan
lain-lain.
Namun komite ini tidak jauh berbeda
dengan sebelumnya, mereka seperti ''macan ompong'' karena hasil temuannya
tentang dugaan korupsi di Pertamina tak direspon pemerintah.
Ketiga, Reformasi.
Pada era ini, Bung Hatta pernah mengkonstatir bahwa di era pemerintahan Orde
Baru (baca: Soeharto), korupsi di Indonesia sudah sampai pada tahap membudaya.
Ketika runtuhnya
kekuasaan soeharto, tampuk kekuasaan bergeser ke tangan Presiden BJ Habibie.
Pada rezim ini. Habibie mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN berikut pembentukan
berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga Ombudsman.
Namun kekuasaan Habibie tidak bertahan lama karena dianggap sebagai antek orba
dan menuntut untuk segera melakukan pemilu.
Abdurrahman
Wahid (Gus-dur) adalah Presiden yang lahir pasca rezim Habibie dan pada saat
rezim Gus-dur telah membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(TGPTPK).
Badan ini
dibentuk dengan Keppres di masa Jaksa Agung Marzuki Darusman dan dipimpin Hakim
Agung Andi Andojo. Namun di tengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas
korupsi dari anggota tim, melalui suatu judicial
review Mahkamah Agung, akhirnya membubarkan TGPTPK. Sejak saat itu,
Indonesia mengalami kemunduran dalam upaya pemberantasan KKN.
Disamping itu Gus
Dur lengser dengan alasan inkonstitusional, Mega pun menggantikannya melalui
apa yang disebut sebagai kompromi politik. Laksamana Sukardi ditempatkan
sebagai MenNeg BUMN yang dalam pola pikirnya hanya bagaimana cara menjual asset negara untuk meraih uang. Di masa
pemerintahan Megawati pula kita melihat dengan kasat mata wibawa hukum semakin
merosot, di mana yang menonjol adalah otoritas kekuasaan. Lihat saja betapa
mudahnya konglomerat bermasalah bisa mengecoh aparat hukum dengan alasan
berobat ke luar negeri.
Pemberian SP3
untuk Prajogo Pangestu, Marimutu Sinivasan, Sjamsul Nursalim, The Nien King,
lolosnya Samadikun Hartono dari jeratan eksekusi putusan MA, pemberian
fasilitas MSAA kepada konglomerat yang utangnya macet, menjadi bukti kuat bahwa
elite pemerintah sebenarnya tidak serius dalam upaya memberantas korupsi.
(Baca; ICW, perbincangan korupsi dari
masa lalu hingga kini), Sangat
terlihat dalam rezim ini, dominasi kekuasaan sangat tinggi di bandingkan hukum
sehingga keadilan menurut kaum sofis yunani sebagai apa yang berfaedah oleh
kelompok atas.
“SBY dan Pasca SBY”
Pada rezim SBY,
telah membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dasar perintah dari
pasal 43 ayat 1 UU No. 31 Tahun 1999; “Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun
sejak Undang-undang ini mulai berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi”
Dengan adanya Eksistensi
KPK, dapat dibilang sebagai momok yang menakutkan bagi para elite negara,
bahkan kekuatiran mereka terhadap KPK membuat mereka berpikir bagaimana caranya
untuk melemahkan KPK. Tidak bisa dipungkiri kalau usaha itu berhasil pada
kepemimpinan KPK sebelumnya alhasil independensi KPK mulai rapuh ketika KPK
terjerembab dalam skema penguasa; sebagian anggota KPK yang menerima suap atau
gratifikasi untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan
dengan jabatan atau kewajibannya.
Akibatnya, masyarakat merasa pesimis dan tidak lagi percaya dengan lembaga negara, namun
ketika KPK di pimpin oleh Abraham Sahmad mampu memulihkan nama baik dan
mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada KPK dengan membuktikan komitmennya
sebagai aktivis anti korupsi. Hal tersebut Terbukti ketika beberapa skandal mega korupsi yang melibatkan
penyelenggara negara. Misalnya, kasus impor daging sapi, kasus korupsi
Al-Qur’an, kasus SKK Migas, Kasus Hambalang, Kasus Suap Pilkada Banten, dll.
Namun,
keberhasilan KPK tidak akan lengkap jika KPK tidak mampu menjawab Skandal Bank
Century dengan kerugian 6,7 trilliun. Kasus Century dapat dibilang kasus
terbesar sepanjang sejarah bangsa dan menjadi pekerjaan rumah bagi KPK. Jika
dalam massa kepemimpinan SBY atau pasca SBY tidak mampu menjawab skandal Bank Century
maka akan menjadi dosa sejarah di bangsa ini.